PENDAHULUAN
Kebahagiaan di dunia maupun di akhirat merupakan harapan semua orang. Dan jalan untuk meraihnya pun sangat beragam. Akan tetapi tahukah pembaca apa sebenarnya kebagiaan itu??
Kebahagiaan di dunia adalah ketika seseoarang merasakan suasana hati yang damai, tenteram, dan jauh dari penyakit iri, dengki, ujub dan sebagainya. Suasana dimana seseorang akan merasakan kedekatan dengan Allah sebagai penciptanya. Suasana dimana seseorang akan sangat mudah melakukan kebaikan bagi orang lain. Keadaan seseorang yang mungkin untuk saat ini akan jarang kita temukan. Sebagaimana kita ketahui, sangat sulit menemukan orang baik saat ini...bukan begitu??jangalah kita tertipu bahwa kebahagiaan di dunia ini hanya betumpu pada kesenangan memiliki harta, wanita dan tahta. Kesemuanya itu hanyalah semu apabila tanpa dibarengi dengan ketenangan dan ketentraman hati. Yang tentunya kita dapat meraih ketenangan tersebut hanya dengan cara takwa dalam artian mematuhi perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Adapan kebahagiaan yang telah di jelaskan dalam al-qur’an yang merupakan kebahagiaan akhirat adalah ketika seseorang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Allah swt. Dimana saat itu tiadalah tergambarkan suasanana hati seseorang yang tentunya sangatlah bahagia, tenang dan tentram karena dapat berjumpa penciptanya. Selain itu mereka yang sudah ditakdirkan bertemu dengan Allah akan mendapatkan berbagai kenikmatan berupa masuk surga. Yang di dalamnya telah tersedia segala macam bentuk kesenangan yang diinginkan oleh manusia tanpa ada batasan-batasan seperti yang mereka alami di dunia.
PEMBAHASAN
KEBAHAGIAAN, PENYAKIT HATI DAN OBATNYA
1. Makna Kebahagiaan Dan Jalan Meraihnya
Dalam islam, pusat segala kebahagiaan adalah saat seseorang bertemu dengan sang kholiq. Tentu bukan berarti kita harus menemui ajal terlebih dahulu. Memang ujung dari perjalanan yang kita alami akan seperti itu, tapi sebagai manusia yang hidup di dunia, tentunya kita mengharapkan kebahagiaan di dunia. Lalu bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?jalan apa saja yang harus kita lalui? Sebanyak yang dituntut dalam dua pedoman dasar hidup kita yaitu al-qur’an dan hadits. Jalan-jalan itu tersimpul di dalam sebuah kata yang singkat, padat dan tentunnya populer di kalangan kita sebagai umat islam yang sudah mencakup segalanya, apakah itu?? Jawabannya adalah “takwa”( Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, Gema Insani, Jakarta 2006 hal 2)
Kata takwa berasal darai waqo-yaqi, yang secara harfiah berarti menjauh, menghindar. Secara istilah agama atau yang disepakati oleh jumhur ulama’, kata takwa bermakna upaya maksimal melaksanakan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah memberiakn apresiasi yang sangat tinggi kepada mereka yang secara konsisten dan konsekuen untuk menjalankannya. Allah menjelaskan :
•
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa di antara kamu (al-Hujuraat : 13)
Harapan untuk memperoleh kebahagiaan seperti tersirat dalam doa
“Ya tuhan kami, berikanlah kebaikan (kebahagiaan) untuk kami di dunia dan akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
Kabaikan-kebaikan di sini merupakan amal-amal yang positif yang dapat membawa manusia kepada ketenangan batin. Dalam al-qur’an, ketika Allah menyebutkan kata-kata amanuu selalu dikaitkan dengan kata ‘amilus shaalihaat. Kata amanuu berorientasi kepada akhirat sedangkan kata amilus shalihat berorientasi dunia. Kata amanuu mengarah kepada kebahagiaan akhirat sedangkan kata-kata amilus shoolihat menunjuk kepada kesejahteraan dunia yang diraih dengan kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh.
Sebenarnya kebahagiaan dalam pandangan islam bertumpu kepada upaya untuk tidak kecewa kepada apapun yang diterima dari Allah. Sedikit atau banyak tetap disyukuri dan diterima sebagai yang terbaik menurut pilihan Allah swt atau dengan kata lain bersifat qona’ah. Sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa seorang budak adalah sama seperti orang yang merdeka apabila ia ridho atas segala pemberian dan seorang yang merdeka adalah sama seperti budak apabila ia bersifat tamak (rakus).( Moh Saifullah Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hal 123) Qona’ah terdiri dari lima aspek yang terkait langsung dengan kehidupan manusia, antara lain :
1. Menerima dengan rela apa yang diberikan Allah
2. Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
4. Bertawakal kepada-Nya
5. Tidak tertarik dengan tipu daya kesenangan dunia
Kelima aspek di atas praktis mengarahkan kita kepada kebahagiaan. Dengan sikap qona’ah, seseorang tidak akan silau dengan prestasi yang telah diraih oleh orang lain tetapi sibuk mengurus dan mengelola apa yang sudah diterimanya dan berusaha mensyukurinya. Demikian pentingnya sikap ini, sehingga Rasulullah saw menganggapnya sebagai “harta” yang tidak akan hilang. Rasulullah bersabda :
القناعة مال لا ينفد وكنز لايفنى – رواه الطبراني
“Qona’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”
Oleh karena itu, sesuatu yang dapat melanggar dan melawan sunnatullah adalah jika seseorang menginginkan kebahagiaan tetapi tidak mengeluarkan keringat, bermalas-malasan, dan tidur sepanjang hari. Ketenangan tidak diraih dari sana, tetapi jiwa yang diisi dengan iman dan takwa dan menyikapi kehidupan secara tepat tentulah akan menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hati.( Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, Gema Insani, Jakarta, 2006. hal 20-21)
2. Penyakit Hati Dan Obatnya
Barang siapa yang mempunyai sesuatu yang lebih dicintainya dari pada Allah, maka hati orang itu telah sakit. Sebagaimana perut yang lebih senang makan tanah dari pada makan roti dan air. Atau perut itu hilang keinginannya terhadap roti dan air, maka perut itu sakit. Maka ketika hati sudah tiada keinginan untuk mendekat kepada Allah, tentunya hati tersebut telah sakit.( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-Syifa’, Semarang, 1994, hal)
Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya sifat-sifat hati yang tercela dan hina yang wajib kita bersihkan sangatlah banyak. Sebab pada dasarnya manusia mempunyai empat warna sifat yang keseluruhannya terkumpul dalam hati, yaitu : sifat subu’iyah (binatang buas), bahimiyah (sifat kebinatangan), sifat syaithoniyah (sifat syaitan), dan rabbaniyah (sifat ke-Tuhanan).
Oleh karena hal di atas, maka untuk mengobati penyakit hatipun sangatlah sulit sekali. Sebab keadaan manusia pada umumnya sama lalai dari mengintropeksi diri, karena terdesak dan hanya memandang ke arah kemewahan duniawi belaka, sehingga tidak mau melihat bahwa sesungguhnya hatinya penuh dengan berbagai penyakit.
Dalam hal ini kami mencoba mengetengahkan kepada para pembaca berbagai sifat yang menyebabkan hati seseorang menjadi buruk atau sakit yang jumlahnya ada tiga macam sifat.
Tiga hal yang menjadi induk penyakit hati itu adalah :
1. Hasud (dengki) : ialah merasa iri hati dan benci kalau ada orang lain mendapatkan kenikmatan, serta merasa senang kalau orang lain mendapat musibah atau kesengsaraan
2. Riya’ (pamer) : ialah melakukan suatu amal perbuatan yang semata-mata tidak mencari keridhaan Allah, tatapi mengharapkan pujaan dan sanjungan dari sesama makhluk
3. ‘Ujub (mengagumi diri) : ialah menganggap bahwa dirinya sendiri itulah yang paling mulia dalam segala hal.( Imam Ghozali, Bidayatul Hidayah (tejemah dari A Mudjab Mahali), BPFE, Yogyakarta, 1984 hal 190)
Oleh karena itu maka hendaklah kita berusaha dengan semaksimal mungkin untuk membentengi hal-hal tersebut di dalah upaya membersihkan atau mengobati hati, jangan sampai ketiga penyakit tersebut terjangkit dala hati sanubari. Untuk selanjutnya kalau kita telah dapat membentengi tiga penyakit hati tersebut, maka perlu diperhatikan pula cara memeliharanya, agar supaya penyakit yang lain dapat terhindar pula.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dijelaskan bahwa cara untuk mengobati penyakit hati itu dengan meninggalkan nafsu syahwat, sedang sumber-sumber penyakit itu adalah menuruti hawa nafsu.( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-Syifa’, Semarang, 1994, hal 142)
Kebahagiaan di dunia maupun di akhirat merupakan harapan semua orang. Dan jalan untuk meraihnya pun sangat beragam. Akan tetapi tahukah pembaca apa sebenarnya kebagiaan itu??
Kebahagiaan di dunia adalah ketika seseoarang merasakan suasana hati yang damai, tenteram, dan jauh dari penyakit iri, dengki, ujub dan sebagainya. Suasana dimana seseorang akan merasakan kedekatan dengan Allah sebagai penciptanya. Suasana dimana seseorang akan sangat mudah melakukan kebaikan bagi orang lain. Keadaan seseorang yang mungkin untuk saat ini akan jarang kita temukan. Sebagaimana kita ketahui, sangat sulit menemukan orang baik saat ini...bukan begitu??jangalah kita tertipu bahwa kebahagiaan di dunia ini hanya betumpu pada kesenangan memiliki harta, wanita dan tahta. Kesemuanya itu hanyalah semu apabila tanpa dibarengi dengan ketenangan dan ketentraman hati. Yang tentunya kita dapat meraih ketenangan tersebut hanya dengan cara takwa dalam artian mematuhi perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.
Adapan kebahagiaan yang telah di jelaskan dalam al-qur’an yang merupakan kebahagiaan akhirat adalah ketika seseorang mendapatkan kenikmatan bertemu dengan Allah swt. Dimana saat itu tiadalah tergambarkan suasanana hati seseorang yang tentunya sangatlah bahagia, tenang dan tentram karena dapat berjumpa penciptanya. Selain itu mereka yang sudah ditakdirkan bertemu dengan Allah akan mendapatkan berbagai kenikmatan berupa masuk surga. Yang di dalamnya telah tersedia segala macam bentuk kesenangan yang diinginkan oleh manusia tanpa ada batasan-batasan seperti yang mereka alami di dunia.
PEMBAHASAN
KEBAHAGIAAN, PENYAKIT HATI DAN OBATNYA
1. Makna Kebahagiaan Dan Jalan Meraihnya
Dalam islam, pusat segala kebahagiaan adalah saat seseorang bertemu dengan sang kholiq. Tentu bukan berarti kita harus menemui ajal terlebih dahulu. Memang ujung dari perjalanan yang kita alami akan seperti itu, tapi sebagai manusia yang hidup di dunia, tentunya kita mengharapkan kebahagiaan di dunia. Lalu bagaimana cara kita mendapatkan kebahagiaan?jalan apa saja yang harus kita lalui? Sebanyak yang dituntut dalam dua pedoman dasar hidup kita yaitu al-qur’an dan hadits. Jalan-jalan itu tersimpul di dalam sebuah kata yang singkat, padat dan tentunnya populer di kalangan kita sebagai umat islam yang sudah mencakup segalanya, apakah itu?? Jawabannya adalah “takwa”( Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, Gema Insani, Jakarta 2006 hal 2)
Kata takwa berasal darai waqo-yaqi, yang secara harfiah berarti menjauh, menghindar. Secara istilah agama atau yang disepakati oleh jumhur ulama’, kata takwa bermakna upaya maksimal melaksanakan perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah memberiakn apresiasi yang sangat tinggi kepada mereka yang secara konsisten dan konsekuen untuk menjalankannya. Allah menjelaskan :
•
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang bertakwa di antara kamu (al-Hujuraat : 13)
Harapan untuk memperoleh kebahagiaan seperti tersirat dalam doa
“Ya tuhan kami, berikanlah kebaikan (kebahagiaan) untuk kami di dunia dan akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”
Kabaikan-kebaikan di sini merupakan amal-amal yang positif yang dapat membawa manusia kepada ketenangan batin. Dalam al-qur’an, ketika Allah menyebutkan kata-kata amanuu selalu dikaitkan dengan kata ‘amilus shaalihaat. Kata amanuu berorientasi kepada akhirat sedangkan kata amilus shalihat berorientasi dunia. Kata amanuu mengarah kepada kebahagiaan akhirat sedangkan kata-kata amilus shoolihat menunjuk kepada kesejahteraan dunia yang diraih dengan kerja keras dan upaya yang sungguh-sungguh.
Sebenarnya kebahagiaan dalam pandangan islam bertumpu kepada upaya untuk tidak kecewa kepada apapun yang diterima dari Allah. Sedikit atau banyak tetap disyukuri dan diterima sebagai yang terbaik menurut pilihan Allah swt atau dengan kata lain bersifat qona’ah. Sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa seorang budak adalah sama seperti orang yang merdeka apabila ia ridho atas segala pemberian dan seorang yang merdeka adalah sama seperti budak apabila ia bersifat tamak (rakus).( Moh Saifullah Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hal 123) Qona’ah terdiri dari lima aspek yang terkait langsung dengan kehidupan manusia, antara lain :
1. Menerima dengan rela apa yang diberikan Allah
2. Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha
3. Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
4. Bertawakal kepada-Nya
5. Tidak tertarik dengan tipu daya kesenangan dunia
Kelima aspek di atas praktis mengarahkan kita kepada kebahagiaan. Dengan sikap qona’ah, seseorang tidak akan silau dengan prestasi yang telah diraih oleh orang lain tetapi sibuk mengurus dan mengelola apa yang sudah diterimanya dan berusaha mensyukurinya. Demikian pentingnya sikap ini, sehingga Rasulullah saw menganggapnya sebagai “harta” yang tidak akan hilang. Rasulullah bersabda :
القناعة مال لا ينفد وكنز لايفنى – رواه الطبراني
“Qona’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak akan lenyap”
Oleh karena itu, sesuatu yang dapat melanggar dan melawan sunnatullah adalah jika seseorang menginginkan kebahagiaan tetapi tidak mengeluarkan keringat, bermalas-malasan, dan tidur sepanjang hari. Ketenangan tidak diraih dari sana, tetapi jiwa yang diisi dengan iman dan takwa dan menyikapi kehidupan secara tepat tentulah akan menghadirkan ketenangan dan kebahagiaan dalam hati.( Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, Gema Insani, Jakarta, 2006. hal 20-21)
2. Penyakit Hati Dan Obatnya
Barang siapa yang mempunyai sesuatu yang lebih dicintainya dari pada Allah, maka hati orang itu telah sakit. Sebagaimana perut yang lebih senang makan tanah dari pada makan roti dan air. Atau perut itu hilang keinginannya terhadap roti dan air, maka perut itu sakit. Maka ketika hati sudah tiada keinginan untuk mendekat kepada Allah, tentunya hati tersebut telah sakit.( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-Syifa’, Semarang, 1994, hal)
Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya sifat-sifat hati yang tercela dan hina yang wajib kita bersihkan sangatlah banyak. Sebab pada dasarnya manusia mempunyai empat warna sifat yang keseluruhannya terkumpul dalam hati, yaitu : sifat subu’iyah (binatang buas), bahimiyah (sifat kebinatangan), sifat syaithoniyah (sifat syaitan), dan rabbaniyah (sifat ke-Tuhanan).
Oleh karena hal di atas, maka untuk mengobati penyakit hatipun sangatlah sulit sekali. Sebab keadaan manusia pada umumnya sama lalai dari mengintropeksi diri, karena terdesak dan hanya memandang ke arah kemewahan duniawi belaka, sehingga tidak mau melihat bahwa sesungguhnya hatinya penuh dengan berbagai penyakit.
Dalam hal ini kami mencoba mengetengahkan kepada para pembaca berbagai sifat yang menyebabkan hati seseorang menjadi buruk atau sakit yang jumlahnya ada tiga macam sifat.
Tiga hal yang menjadi induk penyakit hati itu adalah :
1. Hasud (dengki) : ialah merasa iri hati dan benci kalau ada orang lain mendapatkan kenikmatan, serta merasa senang kalau orang lain mendapat musibah atau kesengsaraan
2. Riya’ (pamer) : ialah melakukan suatu amal perbuatan yang semata-mata tidak mencari keridhaan Allah, tatapi mengharapkan pujaan dan sanjungan dari sesama makhluk
3. ‘Ujub (mengagumi diri) : ialah menganggap bahwa dirinya sendiri itulah yang paling mulia dalam segala hal.( Imam Ghozali, Bidayatul Hidayah (tejemah dari A Mudjab Mahali), BPFE, Yogyakarta, 1984 hal 190)
Oleh karena itu maka hendaklah kita berusaha dengan semaksimal mungkin untuk membentengi hal-hal tersebut di dalah upaya membersihkan atau mengobati hati, jangan sampai ketiga penyakit tersebut terjangkit dala hati sanubari. Untuk selanjutnya kalau kita telah dapat membentengi tiga penyakit hati tersebut, maka perlu diperhatikan pula cara memeliharanya, agar supaya penyakit yang lain dapat terhindar pula.
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dijelaskan bahwa cara untuk mengobati penyakit hati itu dengan meninggalkan nafsu syahwat, sedang sumber-sumber penyakit itu adalah menuruti hawa nafsu.( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-Syifa’, Semarang, 1994, hal 142)
1 komentar:
Posting yang bagus bro, semoga bermanfaat untuk kita semua.
Post a Comment