Pages

Subscribe:

Ads 468x60px

Wednesday, April 8, 2009

kebahagiaan, penyakit hati dan obatnya


PENDAHULUAN

Kebahagiaan di dunia maupun di akhirat merupakan harapan semua orang. ‎Dan jalan untuk meraihnya pun sangat beragam. Akan tetapi tahukah pembaca apa ‎sebenarnya kebagiaan itu??‎
Kebahagiaan di dunia adalah ketika seseoarang merasakan suasana hati ‎yang damai, tenteram, dan jauh dari penyakit iri, dengki, ujub dan sebagainya. ‎Suasana dimana seseorang akan merasakan kedekatan dengan Allah sebagai ‎penciptanya. Suasana dimana seseorang akan sangat mudah melakukan kebaikan ‎bagi orang lain. Keadaan seseorang yang mungkin untuk saat ini akan jarang kita ‎temukan. Sebagaimana kita ketahui, sangat sulit menemukan orang baik saat ‎ini...bukan begitu??jangalah kita tertipu bahwa kebahagiaan di dunia ini hanya ‎betumpu pada kesenangan memiliki harta, wanita dan tahta. Kesemuanya itu ‎hanyalah semu apabila tanpa dibarengi dengan ketenangan dan ketentraman hati. ‎Yang tentunya kita dapat meraih ketenangan tersebut hanya dengan cara takwa ‎dalam artian mematuhi perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya.‎
Adapan kebahagiaan yang telah di jelaskan dalam al-qur’an yang ‎merupakan kebahagiaan akhirat adalah ketika seseorang mendapatkan kenikmatan ‎bertemu dengan Allah swt. Dimana saat itu tiadalah tergambarkan suasanana hati ‎seseorang yang tentunya sangatlah bahagia, tenang dan tentram karena dapat ‎berjumpa penciptanya. Selain itu mereka yang sudah ditakdirkan bertemu dengan ‎Allah akan mendapatkan berbagai kenikmatan berupa masuk surga. Yang di ‎dalamnya telah tersedia segala macam bentuk kesenangan yang diinginkan oleh ‎manusia tanpa ada batasan-batasan seperti yang mereka alami di dunia.‎



PEMBAHASAN
KEBAHAGIAAN, PENYAKIT HATI DAN OBATNYA

‎1.‎ Makna Kebahagiaan Dan Jalan Meraihnya
Dalam islam, pusat segala kebahagiaan adalah saat seseorang ‎bertemu dengan sang kholiq. Tentu bukan berarti kita harus menemui ajal ‎terlebih dahulu. Memang ujung dari perjalanan yang kita alami akan seperti ‎itu, tapi sebagai manusia yang hidup di dunia, tentunya kita mengharapkan ‎kebahagiaan di dunia. Lalu bagaimana cara kita mendapatkan ‎kebahagiaan?jalan apa saja yang harus kita lalui? Sebanyak yang dituntut ‎dalam dua pedoman dasar hidup kita yaitu al-qur’an dan hadits. Jalan-jalan ‎itu tersimpul di dalam sebuah kata yang singkat, padat dan tentunnya ‎populer di kalangan kita sebagai umat islam yang sudah mencakup ‎segalanya, apakah itu?? Jawabannya adalah “takwa”( Anwar Sanusi, Jalan ‎Kebahagiaan, Gema Insani, Jakarta 2006 hal 2)‎
Kata takwa berasal darai waqo-yaqi, yang secara harfiah berarti ‎menjauh, menghindar. Secara istilah agama atau yang disepakati oleh ‎jumhur ulama’, kata takwa bermakna upaya maksimal melaksanakan ‎perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya. Allah memberiakn ‎apresiasi yang sangat tinggi kepada mereka yang secara konsisten dan ‎konsekuen untuk menjalankannya. Allah menjelaskan :‎
‏ ‏•‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏‏ ‏
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ‎adalah orang yang bertakwa di antara kamu (al-Hujuraat : 13)‎
Harapan untuk memperoleh kebahagiaan seperti tersirat dalam doa ‎
‎“Ya tuhan kami, berikanlah kebaikan (kebahagiaan) untuk kami di dunia ‎dan akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka”‎
Kabaikan-kebaikan di sini merupakan amal-amal yang positif yang ‎dapat membawa manusia kepada ketenangan batin. Dalam al-qur’an, ‎ketika Allah menyebutkan kata-kata amanuu selalu dikaitkan dengan kata ‎‎‘amilus shaalihaat. Kata amanuu berorientasi kepada akhirat sedangkan ‎kata amilus shalihat berorientasi dunia. Kata amanuu mengarah kepada ‎kebahagiaan akhirat sedangkan kata-kata amilus shoolihat menunjuk ‎kepada kesejahteraan dunia yang diraih dengan kerja keras dan upaya yang ‎sungguh-sungguh.‎
Sebenarnya kebahagiaan dalam pandangan islam bertumpu kepada ‎upaya untuk tidak kecewa kepada apapun yang diterima dari Allah. ‎Sedikit atau banyak tetap disyukuri dan diterima sebagai yang terbaik ‎menurut pilihan Allah swt atau dengan kata lain bersifat qona’ah. ‎Sebagian ahli tasawuf mengatakan bahwa seorang budak adalah sama ‎seperti orang yang merdeka apabila ia ridho atas segala pemberian dan ‎seorang yang merdeka adalah sama seperti budak apabila ia bersifat tamak ‎‎(rakus).( Moh Saifullah Al-Aziz, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Terbit Terang, Surabaya, ‎‎1998, hal 123) Qona’ah terdiri dari lima aspek yang terkait langsung dengan ‎kehidupan manusia, antara lain :‎
‎1.‎ Menerima dengan rela apa yang diberikan Allah
‎2.‎ Memohon kepada Allah tambahan yang pantas dan tetap berusaha
‎3.‎ Menerima dengan sabar akan ketentuan Allah
‎4.‎ Bertawakal kepada-Nya
‎5.‎ Tidak tertarik dengan tipu daya kesenangan dunia
Kelima aspek di atas praktis mengarahkan kita kepada kebahagiaan. ‎Dengan sikap qona’ah, seseorang tidak akan silau dengan prestasi yang ‎telah diraih oleh orang lain tetapi sibuk mengurus dan mengelola apa yang ‎sudah diterimanya dan berusaha mensyukurinya. Demikian pentingnya ‎sikap ini, sehingga Rasulullah saw menganggapnya sebagai “harta” yang ‎tidak akan hilang. Rasulullah bersabda :‎

‏ القناعة مال لا ينفد وكنز لايفنى – رواه الطبراني
‎“Qona’ah adalah harta yang tidak akan hilang dan simpanan yang tidak ‎akan lenyap”‎
Oleh karena itu, sesuatu yang dapat melanggar dan melawan ‎sunnatullah adalah jika seseorang menginginkan kebahagiaan tetapi tidak ‎mengeluarkan keringat, bermalas-malasan, dan tidur sepanjang hari. ‎Ketenangan tidak diraih dari sana, tetapi jiwa yang diisi dengan iman dan ‎takwa dan menyikapi kehidupan secara tepat tentulah akan menghadirkan ‎ketenangan dan kebahagiaan dalam hati.( Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, Gema ‎Insani, Jakarta, 2006. hal 20-21)‎

‎2.‎ Penyakit Hati Dan Obatnya
Barang siapa yang mempunyai sesuatu yang lebih dicintainya dari ‎pada Allah, maka hati orang itu telah sakit. Sebagaimana perut yang lebih ‎senang makan tanah dari pada makan roti dan air. Atau perut itu hilang ‎keinginannya terhadap roti dan air, maka perut itu sakit. Maka ketika hati ‎sudah tiada keinginan untuk mendekat kepada Allah, tentunya hati ‎tersebut telah sakit.( Imam Ghozali, Ihya’ Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-‎Syifa’, Semarang, 1994, hal)‎
Perlu diketahui, bahwa sesungguhnya sifat-sifat hati yang tercela ‎dan hina yang wajib kita bersihkan sangatlah banyak. Sebab pada dasarnya ‎manusia mempunyai empat warna sifat yang keseluruhannya terkumpul ‎dalam hati, yaitu : sifat subu’iyah (binatang buas), bahimiyah (sifat ‎kebinatangan), sifat syaithoniyah (sifat syaitan), dan rabbaniyah (sifat ke-‎Tuhanan).‎
Oleh karena hal di atas, maka untuk mengobati penyakit hatipun ‎sangatlah sulit sekali. Sebab keadaan manusia pada umumnya sama lalai ‎dari mengintropeksi diri, karena terdesak dan hanya memandang ke arah ‎kemewahan duniawi belaka, sehingga tidak mau melihat bahwa ‎sesungguhnya hatinya penuh dengan berbagai penyakit. ‎
Dalam hal ini kami mencoba mengetengahkan kepada para ‎pembaca berbagai sifat yang menyebabkan hati seseorang menjadi buruk ‎atau sakit yang jumlahnya ada tiga macam sifat.‎
Tiga hal yang menjadi induk penyakit hati itu adalah :‎
‎1.‎ Hasud (dengki)‎ ‎: ialah merasa iri hati dan benci kalau ada ‎orang lain mendapatkan kenikmatan, serta merasa senang kalau orang ‎lain mendapat musibah atau kesengsaraan
‎2.‎ Riya’ (pamer)‎ ‎: ialah melakukan suatu amal perbuatan yang ‎semata-mata tidak mencari keridhaan Allah, tatapi mengharapkan ‎pujaan dan sanjungan dari sesama makhluk
‎3.‎ ‎‘Ujub (mengagumi diri)‎ ‎: ialah menganggap bahwa dirinya sendiri ‎itulah yang paling mulia dalam segala hal.( Imam Ghozali, Bidayatul Hidayah ‎‎(tejemah dari A Mudjab Mahali), BPFE, Yogyakarta, 1984 hal 190)‎

Oleh karena itu maka hendaklah kita berusaha dengan semaksimal ‎mungkin untuk membentengi hal-hal tersebut di dalah upaya ‎membersihkan atau mengobati hati, jangan sampai ketiga penyakit tersebut ‎terjangkit dala hati sanubari. Untuk selanjutnya kalau kita telah dapat ‎membentengi tiga penyakit hati tersebut, maka perlu diperhatikan pula cara ‎memeliharanya, agar supaya penyakit yang lain dapat terhindar pula.‎
Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin dijelaskan bahwa cara untuk ‎mengobati penyakit hati itu dengan meninggalkan nafsu syahwat, sedang ‎sumber-sumber penyakit itu adalah menuruti hawa nafsu.( Imam Ghozali, Ihya’ ‎Ulumuddin (terjemah dari Moh Zuhri dkk), CV As-Syifa’, Semarang, 1994, hal 142)‎